Jalan Lain Menjadi Seorang Rock Star
Dikeluarkan dari band dan putus cinta adalah materi bagus untuk stand-up comedy. Semestinya. Tapi tidak bagi Juno. Ia malah menjadikannya sebagai stand-up tragedy—curhat kisah suramnya mengenai cita-cita dan cinta di atas panggung.
Keinginan Juno menjadi rock star yang mengguncang panggung pupus ketika ia didepak dari band dengan alasan terlalu idealis; lebih mementingkan kenikmatan bermain musik ketimbang menjadi terkenal. Menurut Juno musisi yang menuruti keinginan pasar dan lebih mementingkan uang itu materialistik dan sebaiknya jual diri saja. Teman-temannya tidak peduli. Tiga tahun tanpa prestasi sudah cukup menjadi alasan mendepak Juno dan move on—salah duanya dengan mencari vokalis baru dan mengganti nama band “Botani Bonsai” menjadi “Hening”.
Beruntung Juno masih memiliki Stevan dan Ari dan Ozi.
Comedy of Juno (klik untuk tautan ke Goodreads) |
Stevan, mahasiswa tingkat akhir yang sedang mengerjakan skripsi, cerdas namun hobi bikin mi instan, sering menjadi tempat tujuan Juno saat pusing. Penjelasan-penjelasan dan petuah-petuah Stevan didengarkan betul oleh Juno.
Ari, penjaga studio tempat Juno dan kelompoknya dulu latihan musik. Ia yang mengenalkan Juno pada Papa dan pada dunia stand-up comedy. Papa ini seorang comic atau komedian senior di kota Madiun dan hendak pensiun. Ia menantang Juno melakukan open mic pertama kali.
Dan, Juno gagal. Ia ditertawakan bukan karena lawakannya tapi karena komentar si pembawa acara yang menyebut Juno tidak sedang ber-stand-up comedy tapi ber-stand-up tragedy. Dandanan, sih, rocker tapi isi materi menye-menye. (well, masih saja aku tergelak saat mengingat bagian ini)
Tidak menyerah, Juno menerima tawaran belajar langsung dari Papa; mengenai struktur komedi—set up dan punch line, teknik rule of three, disiplin menulis, karakter dan kemampuan menyampaikan materi di atas panggung, dan sebagainya, dan sebagainya.
Dan, Ozi. Seorang kawan perempuan yang memberi Juno pekerjaan pertama sebagai komedian. Meski gagal (lagi), Ozi tidak kapok. Ia tetap mendukung Juno bahkan saat temannya itu mogok dan menyerah menjadi seorang comic di tengah jalan.
Bagaimana cara kembali berdiri tegak saat kejadian buruk beruntun membuatmu jatuh .
Aku kira itu garis besar novel “Comedy of Juno” dari Jacob Julian ini. Dari seorang rocker yang terpuruk hingga menjadi seorang comic yang sukses (ups, spoiler). Jalan ke sana tidak mudah, tentu saja. Meski banyak yang mendukung, memberi nasihat, petuah, bahkan sampai mengomel, Juno memiliki kecenderungan manja, mudah menyerah, dan ingin gampang. Itu yang menjadikan konfliknya menggemaskan—dalam artian baik.
Rasanya kayak; hih, ya ampun orang ini. Saat merajuk dan ingin menyerah pada saat orang-orang di sekitarnya begitu mendukung, ingin aku masukkan Juno dalam kantung plastik besar, ikat kencang, lalu buang ke kali.
Bagian yang aku suka, karena aku cinta mati sama musik rock sehingga menurutku ini benar dan masuk akal, adalah analogi cerdas Papa saat meyakinkan Juno bahwa comic bisa setara dengan rocker.
”Comic bisa punya groupies sendiri. Bisa bikin show-nya sendiri. Bisa mengadakan tur sendiri. Kalau show-nya ditonton ribuan orang, bukannya dia sendiri sudah rocker?“ (halaman 47)
”Comic dan rocker itu sama-sama rock star. Bedanya adalah apa yang mereka guncang.” (halaman 48)
Materi komedi. Aku terkesan saat Jacob Julian eh Juno mengangkat, satu di antara sekian banyak, materi mengenai kebiasaan menanggap konser dangdut di tempat orang sunatan. Juno menyebut ini sebagai strategi marketing orangtua yang mengadakan hajatan. Penyanyi dangdut berpenampilan seksi, menarik minat masyarakat yang tinggal di sekitar untuk datang, semakin banyak yang datang semakin banyak pula sumbangan didapat.
Juno menempatkan satu punch line jitu di sini. Benar-benar bikin meledak ketawa. Aku menyebutnya keberhasilan Juno sebagai komedian dan Jacob Julian si penulisnya.
Menurutku, sebagai penulis Jacob Julian begitu rapi, manis, dan menarik saat menuliskan materi komedi. Ia menjaga baik kontiunitas materi yang berhubungan dengan karakter Juno sebagai komedian rocker yang berasal dari Madiun, dan menyisipinya dengan materi guyonan umum. Namun, entah kerapian dan kejelian itu agak longgar saat kembali bertutur mengenai Juno dan kawan-kawan. Salah satunya pada bab 11. Ingat Stevan memiliki hobi membikin mi instan? Pada bab ini diceritakan Stevan mengajak Juno keluar naik motor dan berhenti di sebuah warung memesan makanan. Tidak dijelaskan memesan makanan apa, sih, namun bagian Stevan menuang mi instan ke dalam mangkuk (padahal sebelumnya diceritakan Stevan menunggu pesanan diantar) membuatku curiga penulis terpeleset pada kebiasaan Stevan yang dibangunnya sendiri dan lupa bahwa adegan di bab 11 itu sudah berpindah lokasi.
Bagian terbaik adalah bagian akhir. Sungguh. Ketika dalam sebuah acara besar, Juno tampil bergantian dengan band lamanya. Juno tampil lebih dulu sebagai comic dan mengangkat materi guyonan dengan memainkan nama ”Hening”. Lelucon yang berhasil. Aku terus tertawa hingga sampai bagian band Hening tampil.
Ada satu hal manis yang dilakukan anggota band Hening untuk Juno. Satu hal ini mampu mencairkan keras kepala Juno dan menunjukkan bahwa persahabatan yang baik itu ya seperti ini; bersaing sehat dan tetap kompak.
Dan, satu hal ‘manis’ yang juga dilakukan Juno untuk kawan lawas yang mendepaknya dari keanggotaan band.
Apa sajakah itu? Baca sendiri.
Terakhir. Kisah cintanya. Antara Juno dan Ozi. Aku menyebutnya kisah cinta yang memiliki getar halus, tipis, namun manis (dancuk, pilihan kataku!). Rasanya kok seperti menjadi remaja lagi saat membaca bagian ini.
Buku segar dan menarik. Kalau ingin tertawa, menertawakan masalah atau bahkan diri sendiri, cerita mengenai jatuh bangun meraih mimpi, dan kesetiaan orang-orang yang mendukung hingga cita-cita itu tercapai, buku ini layak dibaca.
Nb: iseng ingin tanya saat membaca halaman 251; apakah Juno tahu bahwa kepanjangan Gadis dalam slogan Madiun Kota Gadis adalah perdaGAngan Dan InduStri?
0 comments :
Post a Comment