Sabtu, 22 November lalu, saya dan beberapa teman di Komunitas Goodreads datang ke Museum Batik. Beberapa teman sempat tersasar. Ternyata, museum yang beralamat di Jl Dr Sutomo 13 A, Bausasran, ini letaknya tidak di pinggir jalan raya.
Museum ini didirikan oleh Almarhum Hadi Nugroho dan istrinya Dewi Sukaningsih. Keduanya dahulu pemilik pabrik batik. Setelah lebih dari dua puluh tahun mengoleksi batik, mereka kemudian membuka museum ini pada tahun 1978. Kini, Museum Batik Yogyakarta memiliki sekitar 600 koleksi kain batik dan 800 peralatan membatik.
Museum ini didirikan oleh Almarhum Hadi Nugroho dan istrinya Dewi Sukaningsih. Keduanya dahulu pemilik pabrik batik. Setelah lebih dari dua puluh tahun mengoleksi batik, mereka kemudian membuka museum ini pada tahun 1978. Kini, Museum Batik Yogyakarta memiliki sekitar 600 koleksi kain batik dan 800 peralatan membatik.
Foto oleh Lutfi Retno |
Mas Didik yang menemani kami berkeliling menjelaskan tentang jenis-jenis batik dan tahapan pembuatannya. Kami mulai dari melihat bingkai berisi berbagai macam canting. Ada sekitar dua puluhan canting dan goresan malam yang ia hasilkan. Canting fungsinya seperti pena. Ia menjadi alat untuk menggoreskan malam yang dipanaskan ke kain. Tiap ukuran menghasilkan goresan berbeda. Biasanya, di pasaran hanya ada 3 ukuran canting.
Bagian kedua berisi bahan-bahan yang dipakai dalam pembuatan batik. Malam, lilin yang dipakai untuk menggambar di kain, terbuat dari sarang lebah. Selain itu malam juga mengandung damar mata kucing atau gondorukem. Di rak bahan juga terdapat berbagai kayu dan tanaman yang menghasikan pewarna. Jaman dahulu, batik dibuat dengan pewarna alam. Proses pewarnaan kain jaman dahulu membutuhkan berkali-kali pencelupan. Setelah itu, warna dikunci dengan zat yang terbuat dari kapur atau bunga tanjung. Kini, untuk alasan kepraktisan, banyak batik yang dibuat dengan pewarna buatan pabrik.
Kain-kain dalam museum ini banyak yang berusia tua. Saya berkali-kali melihat kain yang diperkirakan dibuat akhir tahun 1800 atau awal tahun 1900 an. Museum mengganti koleksinya tiap tiga bulan sekali. Kain yang baru saja dipajang mengalami perlakuan khusus sebelum masuk ruang perawatan. Ia terlebih dahulu direndam di air hangat untuk mematikan jamur. Kain kemudian diasap dengan ratus. Apabila rusak, kain diperbaiki sebelum masuk ruang penyimpanan. Untuk menjaga supaya tidak dimakan ngengat, kain disimpan dengan akar wangi.
Selama mengelilingi museum, kami berkali-kali terpesona melihat detail kain batik. Ada beberapa yang punya titik-tikik seukuran milipen 1 mili. Bayangkan, titik tadi dibuat dengan canting. Si pembuatnya pasti sangat ahli karena bisa menitikkan malam dengan ukuran sekecil tadi. Kami melototi kain-kain lama yang dibuat dengan garis sangat halus. Entah berapa bulan yang dibutuhkan pembuatnya untuk menyelesaikan sebuah kain. Jaman dahulu, batik dipakai sebagai penanda status sosial seseorang. Para saudagar kaya dan kaum bangsawan menggunakan kain batik yang ditulis dengan halus. Semakin halus dan rumit pola sebuah kain, harganya semakin mahal.
Di sana, kami juga melihat batik pagi-sore. Istilah tersebut digunakan untuk menyebut kain batik yang memiliki dua pola sangat kontras di satu kain. Kadang, warnanya juga berbeda jauh. Ternyata, kain batik jenis ini muncul pada masa Jepang. Pada saat itu, kain susah dicari. Orang-orang lebih berpikir untuk memenuhi kebutuhan pangannya terlebih dahulu. Untuk itu, muncul dua pola dalam satu kain. Supaya kain tersebut bias dipakai di dua acara berbeda.
Museum Batik juga memiliki koleksi sulaman. Kebanyakan wajah pahlawan atau tokoh dunia. Pembuat sulaman tersebut meniru wajah Sukarno, Diponegoro, dan yang lain dari poster. Karya paling besar di ruangan tersebut adalah sulaman penyaliban Yesus. Oleh Museum Rekor Indonesia, sulaman ini mendapat penghargaan sebagai kerajinan tangan terpanjang. Ibu Dewi Nugroho membuat sulaman itu selama kurang lebih tiga tahun. Beliau mengerjakan sulaman tersebut saat menunggui suaminya yang sakit stroke.
Bagian kedua berisi bahan-bahan yang dipakai dalam pembuatan batik. Malam, lilin yang dipakai untuk menggambar di kain, terbuat dari sarang lebah. Selain itu malam juga mengandung damar mata kucing atau gondorukem. Di rak bahan juga terdapat berbagai kayu dan tanaman yang menghasikan pewarna. Jaman dahulu, batik dibuat dengan pewarna alam. Proses pewarnaan kain jaman dahulu membutuhkan berkali-kali pencelupan. Setelah itu, warna dikunci dengan zat yang terbuat dari kapur atau bunga tanjung. Kini, untuk alasan kepraktisan, banyak batik yang dibuat dengan pewarna buatan pabrik.
Kain-kain dalam museum ini banyak yang berusia tua. Saya berkali-kali melihat kain yang diperkirakan dibuat akhir tahun 1800 atau awal tahun 1900 an. Museum mengganti koleksinya tiap tiga bulan sekali. Kain yang baru saja dipajang mengalami perlakuan khusus sebelum masuk ruang perawatan. Ia terlebih dahulu direndam di air hangat untuk mematikan jamur. Kain kemudian diasap dengan ratus. Apabila rusak, kain diperbaiki sebelum masuk ruang penyimpanan. Untuk menjaga supaya tidak dimakan ngengat, kain disimpan dengan akar wangi.
Selama mengelilingi museum, kami berkali-kali terpesona melihat detail kain batik. Ada beberapa yang punya titik-tikik seukuran milipen 1 mili. Bayangkan, titik tadi dibuat dengan canting. Si pembuatnya pasti sangat ahli karena bisa menitikkan malam dengan ukuran sekecil tadi. Kami melototi kain-kain lama yang dibuat dengan garis sangat halus. Entah berapa bulan yang dibutuhkan pembuatnya untuk menyelesaikan sebuah kain. Jaman dahulu, batik dipakai sebagai penanda status sosial seseorang. Para saudagar kaya dan kaum bangsawan menggunakan kain batik yang ditulis dengan halus. Semakin halus dan rumit pola sebuah kain, harganya semakin mahal.
Di sana, kami juga melihat batik pagi-sore. Istilah tersebut digunakan untuk menyebut kain batik yang memiliki dua pola sangat kontras di satu kain. Kadang, warnanya juga berbeda jauh. Ternyata, kain batik jenis ini muncul pada masa Jepang. Pada saat itu, kain susah dicari. Orang-orang lebih berpikir untuk memenuhi kebutuhan pangannya terlebih dahulu. Untuk itu, muncul dua pola dalam satu kain. Supaya kain tersebut bias dipakai di dua acara berbeda.
Museum Batik juga memiliki koleksi sulaman. Kebanyakan wajah pahlawan atau tokoh dunia. Pembuat sulaman tersebut meniru wajah Sukarno, Diponegoro, dan yang lain dari poster. Karya paling besar di ruangan tersebut adalah sulaman penyaliban Yesus. Oleh Museum Rekor Indonesia, sulaman ini mendapat penghargaan sebagai kerajinan tangan terpanjang. Ibu Dewi Nugroho membuat sulaman itu selama kurang lebih tiga tahun. Beliau mengerjakan sulaman tersebut saat menunggui suaminya yang sakit stroke.
Foto oleh Lutfi Retno |
Lapanta oleh Lutfi Retno
0 comments :
Post a Comment