Baca Buku, Yuk! Sekolah Saja Tidak Cukup - Mei 2014 | Goodreads Yogyakarta
Home » » Baca Buku, Yuk! Sekolah Saja Tidak Cukup - Mei 2014

Baca Buku, Yuk! Sekolah Saja Tidak Cukup - Mei 2014

Written By Unknown on Monday, 19 May 2014 | 01:05

Hari minggu lalu, Goodreads Jogja dan 1001 buku mengadakan ngobrol bareng mengenai dunia pendidikan dan budaya membaca. Acara tersebut menjadi bagian dari Booklover Festivalnya Radio buku. Ceritanya, ide obrolan ini dimulai dari keprihatinan teman-teman dengan dunia pendidikan (formal) di Indonesia. Selama ini, pendidikan cenderung dipersempit menjadi sekolah. Orangtua menitipkan anak-anaknya ke sekolah dan berpikir bahwa mendidik itu tugas sekolah. Padahal, seharusnya orangtua yang diberi amanah untuk mendidik anak. Pendidikan itu proses membuat dari yang tidak tahu menjadi tahu. Tidak sekadar mengerjakan setumpuk peer dan berlomba untuk mendapat rangking.


Foto milik Lutfi Retno


Ada 4 pembicara yang memulai diskusi. Mas Anto yang bekerja di Lembaga Penjamin Mutu Pendidikan, Mas Adi yang menjadi Komite Sekolah TK dan SD Model, Mbak Tata yang praktisi anak dan Pendidikan, lalu Mas Ganjar yang relawan literasi di 1001 buku. Mas Anto bercerita pengalamannya waktu berbicara di depan guru dan kepala sekolah RSBI. Dia iseng bertanya kapan mereka terakhir baca buku di luar buku umum. Jawabannya: waktu kuliah. Kebayang ga, menurut dinas pendidikan, guru yang ada di RSBI itu guru bagus. Buku itu salah satu cara mendapat pengetahuan. Kalo yang bagus saja tidak menganggap buku penting, guru-guru dengan level dibawahnya seperti apa?

Obrolan kemudian berlanjut ke ironi kurikulum 2013. Kurikulum yang bagus tadi tidak diimbangi oleh guru-guru sekolah yang siap untuk mengajarkan hal tersebut. Memperbaiki kurikulum tanpa menyiapkan guru itu seperti punya mobil bagus dengan sopir tidak terampil. Guru-guru di sekolah formal, rata-rata terbiasa mengajar satu arah. Guru berbicara dan murid mendengar. Banyak yang menjadi guru karena menganggapnya pekerjaan bukan panggilan jiwa.

Sekolah memperlakukan anak-anak yang unik dan memiliki kecerdasan yang berbeda dianggap sebagai barang kodian. Mereka disamaratakan kemampuannya dan dipaksa untuk menguasai hal yang sama. Selain itu, sekolah juga menjadi menara gading. Mereka membuat murid tidak mengenali lingkungan sekitarnya karena hal yang diajarkan tidak membumi.

Sedangkan untuk membudayakan membaca di sekolah, sekolah-sekolah umum memiliki perpustakaan dengan koleksi buku membosankan. Perpustakaan bahkan menjadi tempat penyimpanan buku paket. Yang dikeluarkan tiap tahun ajaran baru. Kalaupun ada dana Bantuan Operasional Sekolah, pihak sekolah cenderung dipakai untuk membangun fisik daripada membeli buku. Bukankah guru dan kepala sekolahnya sendiri tidak peduli dengan buku?

Sebagai bagian dari mendidik, di beberapa tempat muncul gerakan-gerakan literasi. Muncul orang-orang dan komunitas yang menyediakan bacaan dan mengajak lingkungan sekitar untuk membaca. Berhubung membaca itu sebuah kebiasaan, sebaiknya ia ditanamkan sejak dini. Sayang, masih sedikit buku anak yang bagus dan punya muatan lokal.

Obrolan yang berjalan 3 jam tadi tidak menawarkan solusi untuk memperbaiki dunia pendidikan. Terlalu banyak masalah dan mungkin saat ini buang-buang energi kalau mau merubah sistem pendidikan. Setidaknya, kalau kita tahu pendidikan formal di Indonesia bermasalah, kita bisa memilih cara untuk menyikapinya. Mendidik itu tugas pertama orangtua dan keluarga itu sekolah pertama. Kalau pun nanti akan menitipkan anak ke sekolah, orangtua dan keluarganya harus tahu bahwa sekolah saja tidak cukup. Salah satu cara supaya menjadi pendidik yang baik, orang harus punya banyak referensi untuk mengajar. Buku merupakan salah satu sumber untuk mengisi pengetahuan para pendidik dan calon pendidik.
Lapanta oleh Lutfi Retno

0 comments :

Post a Comment

ARSIP