Bapakku pemahat makna
Diukirnya aku dengan motif cinta
Angin meniupkannya ke mana-mana
Bertebaranlah makna lewat bahasa mata
Bapakku pemahat makna
: aku diukirnya jadi lelaki pengelana!
Membaca puisi ini cukup mengingatkanku pada pesan ayah, yang kalau aku ceritakan pada teman lain pasti dianggap begitu aneh dan ‘kejam’ (menimbang aku adalah seorang anak perempuan, katanya), “enggak usah pulang Madiun. Pergi sana. Keluar kota. Keluar negeri. Jangan angkrem di rumah, kamu tidak akan mendapat apa-apa. Berpergianlah, maka kamu akan mendapat banyak ilmu.”
Itulah. Itulah kenapa aku merasa banyak kedekatan ketika membaca buku Aku, Anak Matahari-nya Gola Gong. Pun sebenarnya ketika tidak memiliki kedekatan yang sama, buku ini bagus untuk dibaca dan dipelajari.
Sebuah memoar dari Gola Gong yang berisi mengenai bagaimana Emak dan Bapak, terutama bapak, dulu mendidiknya. Membuatnya menjadi tegar, menjadi kuat, dan menjadi kreatif.
Sebenarnyalah urutan isi tulisan di dalam buku ini adalah sangat ‘awut-awutan’. Seperti sedang mendengarkan seseorang bicara begitu saja. Tidak runut, tidak jelas, begitu banyak, begitu berserakan namun isinya bagus. Di dalam satu bab tulisan itu artinya bisa berisi mengenai kisah masa lalu, kisah dengan bapak, kisah dengan emak, kisah kehidupan Gola Gong sendiri, kisah dengan anak-anak Gola Gong, dan tulisan mengenai kecemasan, atau harapan, atau mimpi yang sedikit demi sedikit mulai berhasil diwujudkan. ‘Panduan’ daftar isi sungguh tidak banyak membantu. Aku tidak tahu, mungkin karena ini memoar, sehingga penulisan isinya tidak mengalami penyuntingan dengan ketat? Atau karena apa?
Ini buku bagus, mungkin akan lebih baik bila kembali ditata ulang. Pun tidak sulit kok sebenarnya ketika membaca buku ini. Aku mengandaikannya seperti sedang mendengar orang bicara. Jadi mau melantur kemana saja silahkan. Aku berbicara mengenai urutan, sedang mengenai isi... luar biasa!
Di usia 11 tahun, tangan kiri Gola Gong terpaksa harus diamputasi. Waktu itu karena melihat terjun payung, ia ingin menirukan. Naik pohon, hilang keseimbangan, dan terjatuh. Tidak segera dibawa ke rumah sakit, namun ke tukang pijit. Pergelangan lengan dijejak dan ditarik. Hingga beberapa hari kemudian luka di lengan jadi bernanah dan hitam. Sehingga ketika dilarikan ke rumah sakit, tidak ada yang bisa dilakukan selain diamputasi.
Aku, Anak Matahari(klik untuk tautan ke Goodreads) |
Sebenarnya sebelum Gola Gong diamputasi tangan kirinya, bapak dan emaknya sudah begitu banyak menggembleng laki-laki itu. Ketika kehilangan tangan kiri, sikap itu tidak berkurang, tapi malah semakin lebih tebal. Hal menakjubkan yang diambil oleh bapak bisa dilihat ketika Gola Gong saat kelas 6 SD ditolak bermain badminton oleh guru olah raga karena hanya berlengan satu. Ia mengadu, emak marah, namun bapak terlihat begitu tenang.
“Ayo, latihan badminton.” Bapak berbicara dengan nada suara yang serius. Bapak menyuruhku agar bisa main badminton untuk menangkal omongan guru olahragaku di sekolah. Bapak saat itu mengajariku bahwa melawan musuh bukan denganc ara menyerang balik secara fisik. Tapi, lawanlah dengan mengenalinya. Berikanlah apa yang ia inginkan. Akhirnya aku terpacu dan ingin membuktikan bahwa aku bisa bermain badminton dengan satu tangan kepada guru olahragaku. (hal. 59-60)
Dan memang terbukti. Gola Gong memiliki banyak prestasi dari badminton: juara badminton antar orang cacat se-Indonesia di Solo dan Surabaya (1985-1989), juara se-Asia Pasifik di Fespic Games (olimpiade cacat) di Solo (1989), dan Kobe, Jepang (1990).
Sebagai orang tua, pendidikan yang diberikan kepada Gola Gong ini benar-benar asip!
Bapak mendidikku dengan metode learning by doing. Bapak mengajariku tentang keberanian lewat pelajaran geografi, sejarah, dan transportasi secara langsung. Diajaknya aku mengenali alam dengan pergi ke laut, sungai, stasiun kereta, terminal bus, pelabuhan, dan tempat-tempat bersejarah di Banten.
Bapak memboncengkanku dengan motor Suzuki tua lalu berganti Vespa. Kami mengelilingi Banten. Bahkan, aku dibelikan sepeda mini sehingga setiap ada waktu luang aku mengaduk-aduk Kota Serang sendirian. (hal. 43)
Ketika aku kecil berlengan dua, Bapak membawaku ke sungai, Kali Banten, yang letaknya tidak jauh dari rumah. Bapak mengajariku berenang dengan langsung menceburkanku ke sungai. Dengan cara begitu, aku langsung bisa. Belajar dengan melakukannya. Teori tidak begitu dipentingkan di sini. Aku ingat kenapa Bapak menyuruhku bisa berenang. Kata Bapak, “Jika kamu bisa berenang, kamu akan berani!”
Aku ingat, setelah sembuh (diamputasi), Bapak membawaku ke kolam renang dan mengajariku berenang. Kata bapak, “Walaupun kamu sekarang tangan satu, kamu tetap masih bisa berenang.”
Emak menenangkanku, “Jangan kamu pikirkan kedalamannya. Tapi, melompat saja. Nanti secara reflek tubuh kamua akan bereaksi sendiri.”
Ya, apa yang Bapak ajarkan, bahwa dengan berenang menjadikanku berani, itu betul adanya. Saat aku melakukan petualangan, menyeberangi sungai dan samudra, tidak pernah muncul rasa takut. Ketika mengapung-apung di Selat Makasar dengan kapalkayu dan ombak yang sedang menggelora, nyaliku tidak ciut. Di Laut Banda, aku berperahu ke tengah lautan dan terjun menyelam melihat keindahan taman laut. Ketika ada banjir di Banten, aku pernah membantu orang-orang yang hendak menyeberang dan tidak merasa cemas karena bisa berenang. (hal. 46-51)
Sebenarnyalah ini yang kulakukan kemarin waktu berenang, sampai membikin demam, aku mencoba membuktikan apa benar dengan berenang bisa melatih ketenangan dan keberanian.
Aku, Anak Matahari. Matahari di sini adalah sebuah simbol yang diberikan oleh Gola Gong kepada bapaknya.
Untuk urusan bangga, aku pernah berdebat dengan bapak. Aku menanyakannya kepada bapak, “Banggakah Bapak dengan keberhasilanku?” Tidak ada jawaban, kecuali tatapan matanya yang tajam. Begitu sulitkah seorang ayah memuji keberhasilan anak lelakinya? Setelah itu, Emaklah yang berbicara dengan bahasa kiasan, “mimpi-mimpi Bapak diwujudkan oleh kamu.” Emak menghibur bahwa sebetulnya Bapak sangat bangga memiliki anak sepertiku. “Di depan teman-temannya, tidak ada lagi yang Bapak banggakan kecuali kamu.”
Aku ada karena Bapak. Tanpa Bapak, aku tidak akan seperti ini. aku seperti skarang ini karena bapak. Akulah si besi yang dicelupkan ke dalam bara api untuk ditempat. Bapaklah si matahariku yang menyuruh anak-anaknya menjadi pemberani di saat malam gelap gulita. Kekerasan hati Bapak ada pada aku. Bagiku, selain matahari, bapak juga ombak yang siap memecahkan karang agar anak-anaknya tumbuh tidak cengeng. (hal. 27-28)
Hei, keren!
Buku ini mengajarkan untuk berani. Berani berkeinginan, berani bermimpi, dan berani mewujudkannya. Berkemauanlah keras dan pantang menyerah.
“Jika kamu ingin hebat, beranilah menjadi seorang lelaki!”
Oleh: Desi Puspitasari
0 comments :
Post a Comment